Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak *)
Seorang pria baruh baya mendatangi saya setelah selesai menyampaikan
tabligh di salah satu kota di Sulawesi Tenggara beberapa waktu lalu.
Dengan nada kesal, dia menyampaikan caci makinya kepada Ahok. Dan dengan
nada marah, dia juga menuding saya tidak maksimal membela kehormatan
Islam karena sudah diperhinakan oleh Ahok. Saya mendengar tanpa
membantah, dan menyampaikan kalimat pendek, “Kita wajib memaafkan Ahok,
ketika dia sudah meminta maaf atas kealpaannya, masalah hukum kita
serahkan kepada kepolisian, jangan pernah bersikap dan bertindak diluar
hukum”. Namun, kelihatannya pria paruh baya ini tidak puas, dan dia
meminta saya bersikap lebih tegas. Saya hanya mengangguk. Meskipun,
terus terang saya tidak tahu persis seperti apa sikap yang lebih tegas
tersebut.
Ekspresi kemarahan seperti yang saya temukan di Sulawesi Tenggara itu,
pun saya temukan dalam setiap kesempatan tabligh dibeberapa daerah yang
saya hadiri belakangan ini, serta demonstrasi-demonstrasi besar yang
terjadi dibanyak daerah Indonesia. Pertanyaan dan tema pengajian yang
mereka minta sebagian besar terkait dengan sikap dan upaya hukum yang
dilakukan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah terkait dengan dugaan
ujaran kebencian dan penistaan yang dilakukan oleh Ahok di Kepulauan
Seribu beberapa waktu yang lalu.
Ahok mengancam keberagaman
Fenomena kemarahan umat Islam terhadap Ahok sejatinya tidak terkait
dengan apa Agama Ahok. Namun, sebagai politisi dan pejabat publik, Ahok
dinilai miskin etika dan rendah literasi keberagaman, karena berani
masuk dalam tafsir kitab suci Agama lain. Dengan kata lain, berani
“mempersalahkan keyakinan umat beragama lain” melalui ujaran “Membodohi
pake Surat Al Maidah 51”.
Padahal, umat Islam sendiri sudah terbiasa dengan debat perbedaan tafsir
berkenaan dengan teks Alquran, khazanah fiqh yang berbeda-beda dalam
pelaksanaan ibadah antara Muhammadiyah dan NU misalnya, tidak menjadi
isu besar yang memecah belah umat, dan tidak akan pernah Muhammadiyah
dan NU saling tuding terkait dengan berbagai perbedaan perspektif
keagamaan, apalagi menyebut kelompok lain membodoh-bodohi.
Perbedaan-perbedaan tersebut selama ini dirawat sebagai kekuatan
kekayaan khazanah Islam di Indonesia. Nalar Ilmiah umat Islam Indonesia
sudah terbiasa dengan keberagaman dan bergembira dengan fakta
keberagaman itu. Sehingga, apa yang dilakukan dan diucapkan Ahok di
Tanah Seribu beberapa waktu yang lalu adalah ancaman serius terhadap
keberagaman dalam Islam dan keberagaman Indonesia.
Sejarah perumusan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan
dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), pada 18
Agustus 1945 telah membuktikan, bagaimana tokoh-tokoh Islam seperti Ki
Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo, KH Wahid Hasyim, Mr Teuku
Mohammad Hasan, dan tokoh Islam lainnya, dengan besar hati demi
persatuan bangsa dan negara Indonesia mengganti kalimat yang berbunyai
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Keputusan mengganti rumusan awal pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
telah disusun oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau Panitia Sembilan pada 22 juni 1945 yang dikenal
sebagai Piagam Jakarta tersebut, dilakukan setelah ada protes dari dari
wakil-wakil Protestan dan Khatolik di Indonesia bagian timur. Protes
yang disampaikan oleh salah satu opsir Kaigun (Angkatan Laut) kepada
Mohammad Hatta, yang menyatakan “mereka berkeberatan dengan kalimat
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945”, yang berbunyi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Mereka mengakui bahwa kalimat tersebut tidak mengikat mereka dan hanya
mengikat rakyat Indonesia yang beragama Islam. Namun kalimat tersebut,
tercantum dalam Undang-undang dasar yang menjadi dasar negara, maka
berarti negara melakukan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika
diskriminasi tesebut ditetapkan juga, mereka lebih suka memilih berdiri
di luar Republik Indonesia.
Sikap negarawan dengan nalar keberagaman untuk merawat persatuan
Indonesia, yang ditunjukkan oleh tokoh Islam Ki Bagus Hadikusomo, Mr
Kasman Singodimedjo, KH Wahid Hasyim, dan Teuku Mohammad Hasan
tersebutlah yang menjadi langkah bersejarah. Yang menunjukkan bahwa Umat
Islam Indonesia ingin hidup merdeka dan sejahtera dalam keberagaman dan
bergembira dengan keberagaman tersebut. Dan sikap tersebut, masih terus
diwarisi oleh sebagian besar Umat Islam.
Bahkan, Muhammadiyah melalui Muktamar Makassar tahun lalu, kembali
mempertegas sikap Persyarikatan yang menyatakan bahwa Pancasila sudah
final sebagai hasil consensus (kesepakatan) nasional prinsip dasar
bernegara dan berbangsa untuk mencapai Indonesia yang maju, adil,
makmur, dan berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT. Dalam bahasa
Persyarikatan Muhammadiyah, Pancasila adalah Darul Ahdi wa Syahadah.
Jadi, ketika ada beberapa tokoh yang mengaku mengusung keberagaman dan
toleransi menyatakan, “Terpilihnya atau tidaknya Ahok sebagai Gubernur
DKI adalah ujian bagi Bangsa Indonesia apakah masih menghadirkan
Pancasila atau tidak sebagai dasar Negara”. Bagi saya, pernyataan
tersebut, adalah politisasi rasial yang dipenuhi dengan tuduhan
anti-keberagaman kepada umat Islam Indonesia, seolah ingin menyatakan,
bila Ahok tidak terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, maka Bangsa
Indonesia tidak lagi menghadirkan Pancasila dalam berbangsa dan
bernegara. Seolah ingin memaksakan kehendak, bila masih mau disebut
sebagai negara yang mengusung Pancasila, maka Ahok harus jadi Gubernur
DKI Jakarta.
Mereka mempertontonkan lakon playing victim, menempatkan Ahok sebagai
korban sikap dan prilaku SARA. Di sisi lain, mereka juga menuduh
pihak-pihak yang protes dan marah serta melaporkan Ahok ke Polisi
sebagai pihak yang anti-keberagaman dan toleransi dan ditunggangi oleh
kepentingan politik lawan politik Ahok.
Tengok saja, tidak ada kemarahan dan protes besar terkait dengan
kepemimpinan Wali Kota FX Hadi Rudyatmo di Solo, meskipun Solo sering
diposisikan sebagai daerah dimana kaum radikalis bersemayam. Jadi,
kemarahan terhadap Ahok, sekali lagi, bukan karena dilatarbelakangi oleh
kontestasi politik yang sedang berlangsung di DKI Jakarta. Kemarahan
itu muncul karena sikap dan laku Ahok sendiri yang anti-keberagaman dan
tidak menghormati keberagaman dan toleransi dalam Islam dan Indonesia,
yang kemudian menyulut berbagai reaksi kemarahan yang bila tidak
disikapi dengan hati-hati bisa merusak toleransi dan keberagaman
Indonesia yang selama ini telah kita rawat dengan baik.
Maka, kehadiran negara melalui penegakan hukum penting dalam
menyelesaikan kasus Ahok ini. Kesadaran kolektif publik memilih jalur
hukum dengan melaporkan Ahok ke Polisi patut diapresiasi, sebagai bukti
bahwa rakyat Indonesia menghormati Indonesia sebagai negara hukum. Oleh
sebab itu, polisi harus bekerja secara professional untuk menghadirkan
keadilan yang sedang dicari oleh rakyat Indonesia tersebut, khususnya
umat Islam.
Tentu, dibalik upaya hukum tersebut, saya dan tokoh-tokoh Islam lainnya
telah berulangkali mengajak rakyat Indonesia, khususnya umat Islam,
untuk menerima dengan tulus permohonan maaf yang disampaikan Ahok, dan
tidak perlu melakukan tindakan-tindakan di luar hukum yang justru akan
berdampak negatif terhadap keberagaman Indonesia yang telah dirawat
dengan baik oleh Umat Islam dan seluruh umat beragama yang ada di
Indonesia. Seperti pesan Buya Syafii Maarif, “Ahok sudah minta maaf,
maka maafkan lah, dan selesaikan dengan cara yang baik”. Dan jalan yang
baik itu adalah jalan hukum. Nasrun Minallah Wa Fathun Qarib.
*) Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah [rol]
(BERITA SEPUTAR ISLAM)
Daftar PopAds Disini:
No comments:
Post a Comment