(BERITA SEPUTAR ISLAM) - Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Almuzammil Yusuf mengajukan interupsi sebelum rapat paripurna yang
membahas tentang Perjanjian Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB
mengenai perubahan iklim. Muzammil menyampaikan soal pernyataan
Gubernur DKI Jakarta soal Al Maidah ayat 51.
"Saya
hanya ingin menyampaikan satu hal yang menjadi hak saya sebagai dewan.
Saya ingin menyampaikan soal suara seseorang tentang makna toleransi," ujar Muzammil di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, seperti dilansir detik, Rabu (19/10/2016).
Muzammil
ternyata menyampaikan soal kegelisahan umat Islam terkait pernyataan
Ahok terkait Al Maidah ayat 51. Ia menceritakan pengalaman seseorang
tentang betapa tingginya makna toleransi.
"Saya
ingatkan kepada Presiden, Kapolri, negara kita negara hukum, hormati
hukum. Pernyataan kami kalau ada anggota mari didukung, kita hanya
tuntut jalur hukum. Sehingga tak perlu ditakutkan seperti apa yang
dikatakan Hendropriyono. Tak perlu. Karena kita tak ingin onar. Kita
hanya menjalankan Pancasila. Saya ajak takbir. Allahuakbar Allahuakbar
Allahuakbar walillahilham," ungkap Muzammil yang diiringi gema suara takbir.
Berikut surat lengkap yang disampaikan Al Muzammil dalam rapat paripurna hari ini:
THE HIGHEST RESULT OF TOLERANCE IS RESPECT AND SOCIAL RELATIONS
Oleh dr. Gamal Albinsaid
Bismillahirrahmanirrahim...
Dua hari
lalu, sebelum saya menerima penghargaan Empowering people Award dari
Siemens di Jerman, salah seorang panitia mendatangi saya untuk
menanyakan cara bersalaman di atas panggung karena pimpinan mereka
adalah seorang wanita. Mereka menghormati ketika tahu saya tidak
bersalaman dengan wanita karena tidak ingin bersentuhan dengan yang
bukan muhrim saya. Saya cukup menempelkan kedua tangan saya, lalu
menyapa mereka tanpa menyentuh tangannya. Mereka mengatur itu di atas
panggung agar saya merasakan kenyamanan. Itulah toleransi.
Di
perjalanan ke Inggris untuk kunjungan ke 15 perusahaan, pernah saya
menaiki pesawat yang tidak menyediakan makanan halal. Setelah saya
sampaikan kepada mereka saya hanya bisa makan makanan halal, mereka
mencari sebuah mie instan yang memiliki label halal untuk saya. Itulah
toleransi.
Ketika saya
harus presentasi di California University yang bersamaan saat Salat
Jumat, saya minta panitia menggeser jam presentasi kami, karena saya
ingin melaksanakan Salat Jum'at di sana. Mereka mengijinkan menggeser
waktu presentasi saya. Itulah toleransi.
Ketika
makan malam dengan pangeran Charles di Istana Buckingham, mereka
mengatur supaya saya mendapatkan makanan untuk vegetarian agar saya
merasa nyaman. Itulah toleransi.
Di berbagai
pengalaman itu, saya merasakan dan menyimpulkan bahwa bentuk toleransi
adalah hormat. Bagi saya "The highest result of tolerance is respect and
social relations", toleransi itu adalah bentuk penghormatan kita pada
perbedaan yang ada. Mulai dari hal yang kecil seperti makanan, cara
berpakaian, cara beraktivitas, sampai hal yang besar soal agama, kitab
suci, dan prinsip Ketuhanan.
UNESCO dalam publikasinya "Tolerance: The Threshold of Peace"
Menyatakan
social relations adalah salah satu indikator dari suksesnya toleransi di
sebuah masyarakat. Oleh karenanya hasil dari toleransi adalah
kenyamanan individu dan keharmonisan sosial.
Mau tidak
mau, pemimpin berperan besar dalam menjaga, membangun, dan menciptakan
toleransi yang baik. Tidak boleh pemimpin itu masuk atau memberikan
komentar terhadap agama, kitab suci, prinsip Ketuhanan, dan cara
beribadah sebuah agama.
Peran
pemimpin itu penting sekali dalam toleransi yang kita bangun. Kita rindu
pemimpin yang mampu menyejukkan perbedaan kita dalam kesantunan,
menciptakan keharmonisan di antara perbedaan dengan sikap saling
menghormati dalam cinta kasih. Bukan pemimpin yang tidak mempedulikan
perbedaan yang ada, menciptakan ketegangan dengan menghina agama,
melecehkan kitab, membatasi cara beribadah. Seorang pemimpin harus
menghormati agama yang berbeda dengan tidak menilai atau mengomentari
agama, tidak mengomentari kitab suci, dan tidak mengomentari cara
beribadah. Lalu bagaimana keharmonisan bisa hadir jika pernyataan
mengarah pada pelecehan atau penghinaan pada kitab suci dan isi kitab
suci?
Teruntuk
Pak Ahok, before you say something, stop and think how you'd feel if
someone said it to you. Sungguh menyakitkan jika anda merasakan
bagaimana yang kami rasakan sebagai umat Islam, kitab yang kami baca
tiap hari, kami jadikan pegangan hidup, kami hafalkan, kami baca saat
banyak orang tidur, kami pelajari bertahun-tahun, lalu dengan mudahnya
anda sebut sebagai alat melakukan kebohongan. Apakah Pak Ahok pernah
menempuh jurusan tafsir hingga merasa berhak menafsirkan Alquran
seenaknya? Pak Ahok, jangan hina kitab suci saya hanya untuk kepentingan
politik anda! Tidak ada sedikitpun kebohongan dalam Alquran! Hormati
Alquran kami!
"Don't get so tolerant that you tolerate intolerance"(Bill Maher).
Kita tidak boleh mentoleransi sebuah keintoleransian.
Jangan salah mengartikan toleransi, "Tolerance does not mean tolerating intolerance".
Saya
sebenarnya tidak suka menuliskan atau memberikan tanggapan soal
permasalahan politik, tapi nasehat Ayaan Hirsi Ali bahwa "Tolerance of
intolerance is cowardice (mentoleransi sebuah intoleransi adalah sikap
pengecut)" cukup memantapkan hati saya untuk tidak diam.
Gagasan
toleransi Ayaah Hirsi Ali itu sama dengan apa yang dikatakan Haji Abdul
malik Karim Amrullah atau yang biasa kita kenal dengan Buya Hamka, "Jika
agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah ghiroh
telah hilang darimu…. Jika ghiroh telah hilang dari hati, gantinya hanya
satu, yaitu kain kafan. Sebab kehilangan ghiroh sama dengan mati…..",
Ya, jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan. Itu jika diam.
Lalu bagaimana "jika membela orang yang menghina agamamu?" Guntur Romli dan Nusron Wahid mungkin bisa membantu saya menjawabnya.
10 Oktober 2016
No comments:
Post a Comment